Jakarta (ANTARA) – Dunia balap mobil internasional saat ini memiliki dua wajah berbeda yang sama-sama menampilkan teknologi tertinggi: Formula 1 (F1) dan Formula E. Meski keduanya menawarkan sensasi kecepatan dan inovasi mutakhir, pertanyaan utama yang kerap muncul dari publik adalah, “mana yang lebih cepat?”
Perbandingan kecepatan maksimal
Secara teknis, Formula 1 masih memegang predikat sebagai ajang balap tercepat di dunia. Mobil F1 mampu melesat hingga kecepatan maksimal sekitar 375 kilometer per jam, berkat bobot sasis yang lebih ringan dan mesin pembakaran internal berteknologi tinggi. Di sisi lain, mobil Formula E saat ini memiliki kecepatan puncak sekitar 322 kilometer per jam, dengan daya maksimal 300 kW (sekitar 402 bhp) saat balapan.
Meskipun selisih kecepatan ini cukup signifikan, Formula E mengusung misi berbeda: menciptakan kompetisi balap yang ramah lingkungan dengan emisi karbon hingga 90 persen lebih rendah dibanding Formula 1. Ini menjadikan Formula E sebagai ajang futuristik yang mengedepankan elektrifikasi dan keberlanjutan.
Baca juga: Russell dirumorkan tengah dilirik Aston Martin
Aspek daya tahan dan format balapan
Salah satu kelemahan utama kendaraan listrik dalam Formula E adalah daya tahan baterai. Balapan Formula E belum bisa menandingi durasi dan jumlah putaran yang dicapai dalam F1. Ini menunjukkan bahwa, meskipun cepat, mobil Formula E masih menghadapi keterbatasan dalam aspek endurance.
Untuk menyiasati tantangan tersebut, Formula E memperkenalkan fitur baru bernama Pit Boost sejak musim ke-11. Fitur ini mewajibkan pit stop selama 30 detik untuk pengisian energi cepat sebesar 3,85 kWh. Namun, tidak seperti F1 yang memiliki strategi pit stop kompleks termasuk pergantian ban, mobil Formula E menggunakan ban segala cuaca yang tidak perlu diganti selama balapan, kecuali terjadi kerusakan.
Inovasi dan pertaruhan masa depan
Baik F1 maupun Formula E sama-sama menjadi wadah uji coba teknologi otomotif. F1 saat ini tengah mengembangkan bahan bakar rendah emisi sebagai bagian dari target netral karbon pada 2030. Di sisi lain, Formula E menjadi laboratorium hidup untuk pengembangan baterai dan efisiensi daya pada kendaraan listrik.
Baca juga: Ribuan penonton mulai padati Jakarta E-prix
Chief Executive Formula E, Jeff Dodds, menilai bahwa meski F1 kaya sejarah, Formula E kaya akan potensi. “Kami adalah olahraga yang berkembang tercepat, tumbuh 20 persen setiap tahun. Itu tidak terjadi di Formula 1,” ujarnya dalam wawancara dengan The Australian Financial Review Magazine.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa F1 tetap menjadi magnet utama penonton. Serial Drive to Survive yang tayang di Netflix menjadi faktor pendorong popularitas global F1, termasuk rekor kehadiran 452.000 penonton di GP Australia 2023.
Formula E memang belum bisa mengalahkan F1 dari sisi kecepatan atau jumlah penonton, tetapi keunggulannya dalam efisiensi dan komitmen terhadap lingkungan membuatnya menjadi simbol masa depan olahraga otomotif.
“Formula 1 akan berevolusi, sama seperti Formula E. Ini bukan tentang siapa yang lebih unggul sekarang, tapi bagaimana keduanya beradaptasi terhadap tantangan zaman,” kata Ellen Jones, Kepala Strategi ESG Formula 1.
Maka, ketika berbicara soal kecepatan murni, Formula 1 masih unggul. Namun dalam hal keberlanjutan dan arah inovasi otomotif global, Formula E tampil sebagai pesaing serius yang sedang menciptakan jalurnya sendiri menuju masa depan.
Baca juga: Daftar 11 tim yang akan berlaga di Formula E Jakarta 2025
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.